Rabu, 10 Juni 2015

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

A. KEBIJAKAN DAN KESIAPAN INDONESIA DI BIDANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dalam dasawarsa terakhir ini, telah semakin nyata bahwa pembangunan harus bersandarkan pada industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Kesepakatan Indonesia untuk merealisasikan gagasan mengenai ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), telah menunjukan keseriusan Pemerintah dalam mendukung sistem perekonomian yang bebas/terbuka, dan secara tidak langsung memacu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saingnya.

Pemerintah sangat menyadari bahwa implementasi sistem hak kekayaan intelektual merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dengan konsekuensi melaksanakan ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS), sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Berdasarkan pengalaman selama ini, peran serta berbagai instansi dan lembaga, baik dari bidang pemerintahan maupun dari bidang swasta, serta koordinasi yang baik di antara senua pihak merupakan hal yang mutlak diperlukan guna mencapai hasil pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang efektif.

Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja memerlukan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta program sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.

1. Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi-konvensi International.

Pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS. Peraturan perundang-undangan dimaksud mencakup :

Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987 (UU Hak Cipta); dalam waktu dekat, Undang-undang ini akan direvisi untuk mengakomodasikan perkembangan mutakhir dibidang hak cipta; 

Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;

Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;

Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;

Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten); dan

Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;


2. Administrasi Hak Kekayaan Intelektual

Secara institusional, pada saat ini telah ada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan administrasi hak cipta paten, merek, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (semula disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk pada thaun 1998. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan.

Sejauh ini pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berjumlah 450 orang. Dibandingkan dengan yang ada di beberapa negara yang telah maju. Direktorat Jendral HaKI merupakan institusi yang relatif masih muda/naru. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi seandainya dalam pelaksanaan tugasnya, masih dijumpai berbagai macam kendala. Walaupun demikian, melalui berbagai program pelatihan yang intensif telah ada beberapa staf yang memiliki pengetahuan yang cukup memadai guna mendukung peningkatan sistem hak kekayaan intlektual sebagaimana diharapkan.


3. Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, keterlibatan berbagai pihak secara terkoordinasi dan intensif sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya sistem hak kekayaan intelektual yang diharapkan. 

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 189 Tahun 1998, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah ditugasi melakukan koordinasi dengan semua instansi Pemerintah yang berkompeten mengenai segala kegiatan dan permasalahan di bidang hak kekayaan intelektual.


4. Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Secara bertahap dan berkesinambungan telah diupayakan sosialisasi mengenai peran hak kekayaan intelektual di berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari seperti : kegiatan perindustrian dan perdagangan, investasi, kegiatan penelitian dan pengembangan, dan sebagainya. Berbagai lapisan masyarakat pun telah dilibatkan dalam kegiatan ini.

Tumbuhnya berbagai sentra hak kekayaan intelektual, klinik hak kekayaan intelektual, dan pusat hak kekayaan intelektual lain, baik yang dimotori oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pendidikan Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Perguruan-perguruan Tinggi dan cukup banyaknya permintaan dari masyarakat yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menunjukan telah tumbuhnya kesadaran masyarakat di bidang hak kekayaan intelektual. Di samping itu, apresiasi yang positif dari anggota masyarakat juga terlihat dalam wujud pendaftran karya-karya intelektual mereka, seperti terekam dalam jumlah pendaftaran yang sudah disinggung di atas.


B. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Melaksanakan Beberapa Ketentuan Dalam Persetujuan TRIPS

Pada intinya semua peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual telah disusun dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan selaras dengan ketentuan minimum sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Persetujuan TRIPS. Walaupun demikian, berikut ini dikemukakan beberapa di antara ketentuan dalam Persetujuan TRIPS yang kiranya memerlukan penelahaan lebih lanjut. Hal itu pada saatnya akan disampaikan oleh pejabat yang akan kami tugasi untuk itu.

1. Registrasi multilateral bagi indikasi geografi

Persetujuan TRIPS memungkinkan dilakukannya negosiasi untuk memungkinkan dilakukannya registrasi multilateral terhadap indikasi geografis bagi wines. Negara-negara yang tergabung dalam EU dan beberapa negara Eropa lainnya menginginkan disusunnya peraturan lebih lanjut (tersendiri) mengenai indikasi geografis yang diharapkan dapat merupakan hak yang bersifat eksklusif dan mencakup komunitas yang lebih luas dan tidak sekedar diatur secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Sedangkan beberapa negara lain seperti AS, Jepang, New Zealand, dan beberapa negara Amerika Latin mengharapkan bahwa sistem regostrasi tersebut seyogyanya tidak menimbulkan kesulitan administratif dan konsekuensi hukum yang rumit, cukup merupakan sistem yang bersifat voluntary dan terutama berfungsi sebagai clearing house bagi informasi mengenai perlindungan indikasi geografis di masing-masing negara.

2. Perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang indikasi geografis

Padahal, sebagaimana dimaklumi, ada berbagai hasil alam dan produk hasil olahan yang dapat diperoleh dari berbagai negara. Demikian pula halnya dengan Indonesia. Ada beraneka ragam hasil alam dan produk hasil olahannya yang khas berasal dari Indonesia dan dapat dikategorikan masuk dalam perlindungan indikasi geografis, baik dalam bentuk hasil pertanian, hasil pemrosesan produk pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industri lain. Oleh karena itu, sehubungan dengan Article 23, beberapa negara (termasuk Indonesia) telah mengajukan proposal untuk merevisi ketentuan tersebut sehingga cakupan produk yang dilindungi dapat lebih luas dan tidak hanya terbatas pada kedua produk tersebut (wines and spirits).

Sumber
https://budiimulyawan.wordpress.com/¬
http://gabrielaukiyani.blogspot.com/2013/05/hak-kekayaan-intelektual-haki.html
https://andasiallagan92.wordpress.com/2014/04/15/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar