Tentang apa yang dimaksud budaya, Wikipedia menjelaskan demikian :
•Adapun budaya Jawa Tengah mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung
tinggi nilai harmoni :
• beberapa jenis kesenian jawa tengah
• beberapa jenis tarian dari provinsi jawa tengah :
* Tari Serimpi, sebuah tarian keraton pada masa silam dengan suasana lembut, agung dan menawan.
* Tari Blambangan Cakil, mengisahkan perjuangan Srikandi melawan Buto Cakil (raksasa). Sebuah perlambang penumpasan angkara murka.
masih banyak kesenian di provinsi jawa tengah yaitu :
* WAYANG KULIT
* KETOPRAK
• Analisis:
•solusi agar kebudayaan kembali bangkit dan menarik dikalangan masyarakat
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama: kebudayaan material dan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional (wikipedia).
•Adapun budaya Jawa Tengah mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung
tinggi nilai harmoni :
Kebudayaan Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur kehidupan harus harmonis, saling berdampingan, intinya semua harus sesuai. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari, kalau ada hal yang dapat mengganggu keharmonisan harus cepat dibicarakan untuk dibetulkan agar dapat kembali harmonis dan cocok lagi.
Biasanya yang menganggu keharmonisan adalah perilaku manusia, baik itu perilaku manusia dengan manusia atau perilaku manusia dengan alam. Kalau menyangkut perilaku manusia dengan alam yang membetulkan ketidakharmonisan adalah pemimpin atau menjadi tanggungjawab pimpinan masyarakat. Yang sulit apabila keseimbangan itu diganggu oleh perilaku manusia dengan manusia sehingga menimbulkan konflik. Ketidakcocokan atau rasa tidak suka adalah hal yang umum, namun untuk menghindari konflik, umumnya rasa tidak cocok itu dipendam saja (Wikipedia bahasa Jawa).
Upaya menjaga harmonisasi ini rupanya yang membuat kebanyakan orang Jawa tidak suka konflik secara terbuka. Ciri ini -kalau memakai bahasa gaul- “gue banget”. Sepertinya tidak sampai hati (ora tekan) kalau ada rasa tidak puas, tidak cocok terus diteriakkan lugas ke orangnya apalagi kalau di depan orang banyak atau forum. Untuk menyelesaikan konflik rasanya lebih sreg kalau dibicarakan secara pribadi dulu ketimbang langsung dibuka di forum dan diketahui orang banyak. Namun cara ini ada kelemahannya, karena tidak mau berbicara terbuka, orang Jawa menjadi lebih suka kasak kusuk atau menggerudel di belakang . Akibatnya, bukan mencoba mengembalikan keseimbangan atau harmonisasi malah justru memelihara ketidakharmonisan. Falsafah menjaga harmoni ini juga terlihat dari gerak tari tradisional Jawa terutama yang merupakan karya para raja Solo dan Yogya : halus, hati-hati, luwes, penuh perhitungan, ekspresi gerak dan wajah penarinya begitu terjaga , anggun dan agung, hampir tidak ada ekspresi spontan dan meledak-ledak. Bahkan konon untuk menarikan tarian ini penarinya harus menjalani ritual atau laku batin tertentu seperti puasa atau pantang.
Ciri atau identitas lainnya dari budaya Jawa adalah keyakinan Kejawen. Kejawen (Wikipedia) adalah kepercayaan yang hidup di suku Jawa. Kejawen pada dasarnya bersumber dari kepercayaan Animisme yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Karena itulah suku Jawa umumnya dianggap sebagai suku yang mempunyai kemampuan menjalani sinkretisme kepercayaan, semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa.
Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini. Ternyata pada masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India yang terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung dengan berlatarbelakang percintaan antara raja Mataram pertama dengan Kangjeng Ratu Kidul.
* Tari Serimpi, sebuah tarian keraton pada masa silam dengan suasana lembut, agung dan menawan.
* Tari Blambangan Cakil, mengisahkan perjuangan Srikandi melawan Buto Cakil (raksasa). Sebuah perlambang penumpasan angkara murka.
masih banyak kesenian di provinsi jawa tengah yaitu :
* WAYANG KULIT
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Kediri. Pada abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Ketoprak termasuk salah satu kesenian rakyat di Jawa tengah, tetapi juga bisa ditemui di Jawa bagian timur. Ketoprak sudah menyatu menjadi budaya masyarakat Jawa tengah. ketoprak adalah sejenis seni pentas yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan.
Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. sesudah itu pagelaran Ketoprak semakin lama makin jadi bagus dan menjadi idola masyarakat, terutama di tanah Yogyakarta. didalam Pagelaran Ketoprak jadi lengkap dengan memakai cerita dan juga diiringi musik gamelan.
kebudayaan jawa tengah sebetulnya masih sedikit kental dikalangan daerah yogyakarta namun tidak banyak masyarakat jawa yang mengetahui kebudayaannya sendiri, ada istilah mengatakan "wong jawa ilang jawane" ,Orang Jawa hilang Jawanya bisa diartikan orang Jawa hilang sifat-sifat orang Jawa atau hilang tata cara kebudayaan Jawanya, atau orang Jawa tidak mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam tata cara budaya Jawa. Kebudayaan itu sendiri merupakan kata yang jangkauannya sangat luas, bukan sekedar hanya Kesenian (pada umumnya masyarakat mengartikan Kebudayaan dalam ruang dipersempit hanya sebatas Kesenian). Kebudayaan meliputi cipta, rasa, karsa. Kesenian berfokus hanya pada rasa, kebudayaan adalah totalitas manusia dalam cara menghadapi kehidupan ini dengan segenap cipta, rasa dan karsanya.
Seperti apa orang Jawa pada masa yang lalu secara totalitas menghadapi kehidupan ini? Menurut pengertian saya, totalitas orang Jawa menghadapi kehidupan ini bersumber pada keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan antara “jagad gede” dan “jagad cilik” atau “dunia besar” dan “dunia kecil”. “Jagad gede” diartikan suatu kesimbangan hubungan antara manusia dengan dunia diluar dirinya: manusia lainnya, bumi, maupun alam semesta, dan Tuhannya. Sedangkan “jagat cilik” adalah keseimbangan dengan sesuatu yang bergolak dalam diri manusia itu sendiri: antara baik dan buruk, antara roh dan jasmani, antara alam bathin dan alam lahir, antara yang gaib dan yang nyata.
Konsep keseimbangan dan harmoni ini dengan cipta, rasa dan karsa dituangkan dalam bentuk kebudayaan yang sepenuhnya mengatur agar keseimbangan dan harmoni ini tetap terjaga dalam masyarakat Jawa. Umumnya dalam bentuk simbol-simbol dalam berbagai peristiwa budaya. Pada realitasnya, kebudayaan Jawa penuh dengan simbol-simbol yang didalamnya terkandung etika (pilihan baik dan buruk) didalamnya. Untuk bisa mengerti etika Jawa, memerlukan suatu keahlian mengartikan simbol-simbol tertentu dalam budaya Jawa. Tapi tujuan akhir dari etika Jawa adalah sangat jelas tercermin dalam kata-kata “mamayu hayuning bawana” atau melestarikan kesejahteraan dunia (alam semesta).
Jadi “wong Jawa ilang Jawane” juga bisa diartikan kehilangan kemampuan orang Jawa menterjemahkan simbol-simbol dalam tata cara budaya Jawa. Jadi masyarakat hanya melihat segala sesuatunya dari sisi luarnya atau sisi lahirnya saja, kurang mampu mengasah bahasa bathinnya, jadi tidak mampu menterjemahkan simbol-simbol yang muncul kepermukaan sebagai terjemahan dari bahasa etika agar bisa terjadi suatu keseimbangan dan harmoni baik dalam masyarakat maupun dengan alam sekitarnya. Oleh karena apa yang dilakukan justru sebaliknya, malahan menghancurkan/merusak keseimbangan atau harmoni hubungan manusia dan manusia lainnya maupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya, bahkan merusak hubungan manusia dengan Tuhannya.
Sebagai contoh: budaya wayang kulit yang telah diakui oleh Unesco sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" pada tahun 2003, didalamnya terdapat simbol-simbol etika Jawa. Kalau kita melihat wayang kulit hanya sekedar boneka terbuat dari cerma (kulit dan tulang) yang dimain-mainkan oleh sang dalang, meaningless, alias tidak punya arti apa-apa.
Menyelami budaya wayang kulit sampai kita mengerti makna simbol-simbol yang terkandung didalamnya adalah suatu “challenge” atau suatu tantangan. Seberapa banyak orang Jawa (Indonesia) saat ini mau menerima tantangan untuk mengerti budaya wayang kulit dengan mempelajari kemudian menterjemahkan menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung? Dalam Serat Centini Jilid 10 dikatakan bahwa: Nonton wayang harus mengerti cerma (kulit dan tulang) dan cermin. Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) yang dilihat tapi cermin dari sari cerita Ki Dalang.
Sedangkan budaya Jawa yang penuh simbol-simbol bukan saja wayang kulit, masih banyak yang lainnya. Siapa yang masih mau mempelajarinya? Apalagi menjalankannya dalam perbuatan nyata.
Apakah perlu para anggota Badan Kehormatan DPR belajar etika ke Yunani? Mau belajar Etika Barat yang telah menghasilkan Eropa berabad-abad lamanya menjadi negara-negara penjajah? Menghasilkan masyarakat Amerika Serikat yang pragmatis, cenderung ke atheis? Kenapa tidak belajar etika saja ke Yogyakarta, belajar dengan Ki Manteb Sudarsana, menterjemahkan cerita wayang kulit menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung, asli budaya Jawa, asli budaya Indonesia. Ini yang namanya “wong Jawa ilang Jawane” atau mungkin bisa diperluas menjadi “orang Indonesia, hilang Indonesia-nya”.
Bagaimana hubungan kerajaan Yogyakarta dengan simbol-simbol yang kurang mampu ditangkap oleh pemimpin tertinggi di NKRI ini yang menafsirkan kerajaan Yogyakarta sebagai simbol monarki (dalam realitasnya di DIY Yogyakarta ada DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan realitas ini saja simbol monarki kerajaan Yogyakarta sudah terbantahkan dengan sendirinya). Ini adalah pernyataan yang cenderung merusak keseimbangan dan harmoni yang ingin dijaga dalam tata masyarakat Jawa, suatu simbol bahwa orang Jawa sudah mulai hilang Jawanya.
Boleh menghargai budaya luar tapi sebaiknya kita tidak melupakan kebudayaan dan adat istiadat budaya kita yaitu tata krama "tata kromo" seperti kata "mas" untuk sebutan seorang kakak dalam bahasa jawa jangan dihilangkan itu adalah sebagian dari adat istiadat dan tata krama, sopan santun kita sebagai mana warga indonesia dan budaya jawa, tetapi kebanyakan seperti contoh saudara saya sendiri yang menikah dengan orang asing akhirnya adiknya tidak ada sopan santunnya saat memanggil kakaknya , hanya menyebut namanya saja tidak dengan sebutan "mas" budaya ini yang semakin lama semakin hilang, jadi saran saya kita harus bisa bersikap tegas untuk terus menjunjung tinggi norma kesopanan.
sesungguhnya masyarakat yogyakarta sudah mengantisipasi masalah seperti ini (kesenian yang mulai hilang atau tercemar karna adanya budaya asing)jadi mmenurut pengamatan saya setelah saya membaca beberapa artikel mengenai jawa tengah khususnya yogyakarta dan mengamati lingkungan kebudayaan saya yang notabennya tidak murni indonesia, walaupun ada pengaruh dari budaya luar masuk ke dalam kebudayaan jawa mereka malah menerimanya dengan lapang dada dan malah mereka membuat seni baru lagi yang lebih modern jadi bisa dibilang mereka memangaatkan unsur budaya luar dengan cara penggabungan unsur dalam dan unsur luar ,terbukti banyak anak muda tidak hanya di jawa tengah bahkan mancanegara yang ingin mempelajari kebudayaan jawa tengah ,
faktanya saudara saya sendiri yang lahir dan besar dibelanda juga jerman mereka bangga dengan kebudayaan yang terdapat pada budaya yogyakarta, dan dia bangga dapat mempelajari budaya jawa tengah. dan di belanda pun ada fakultas khusus budaya jawa. jadi kesimpulan saya bahwa kebudayaan jawa telah bangkit dengan cara menerima pengaruh budaya luar dan tidak hilang pula unsur kebudayaan kita malah semakin kental dan bisa go internasional.an kita malah semakin kental dan bisa go internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar